Jember Darurat Museum Purbakala
JEMBER – Koleksi sejarah di Jember benar-benar luar biasa. Ratusan peninggalan sejarah dan prasejarah dapat ditemukan di berbagai wilayah di Jember, mulai dari artefak, arca, hinga barang-barang yang menunjukkan sisi kehidupan masyarakat ribuan tahun silam.
Belum lagi situs-situs yang mencerminkan tempat tinggal masyarakat prasejarah yang masih tertata rapi di tempat aslinya.
Seluruh peninggalan tersebut menunjukkan bahwa Jember sebenarnya sudah ada dan menjadi saksi sejarah sejak ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun lalu. Bahkan pada kitab Negarakertagama, terdapat bab khusus yang menjelaskan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke Jember.
“Jember sudah terekam dalam sejarah,” ungkap Didik Purbandrio, koordinator Wilayah Juru Pelihara Balai Pelestari Cagar Budaya di Kabupaten Jember, kepada Jawa Pos Radar Jember.
Dirinya menolak dengan tegas pada pendapat bahwa Jember hanya sebuah perlintasan dalam sejarah. Menurutnya, Jember termasuk pelaku dalam sejarah nasional. “Di Jember semuanya serba kompleks, sejak zaman Majapahit Jember sudah dipandang oleh para raja Majapahit,” lanjutnya.
Namun yang memprihatinkan, seluruh peninggalan sejarah tersebut seakan ‘dianaktirikan’. Barang-barang seperti batu kenong, artefak, menhir, hingga keris dan barang bersejarah lainnya hanya diletakkan pada ruangan seluas tak lebih dari 100 meter persegi.
Sebagian diantaranya berserakan begitu saja di berbagai sudut tanpa kotak penyimpanan, bahkan ada yang terpaksa ditaruh di luar ruangan.
Ini tentu menjadi ironi, sebab dengan begitu banyaknya artefak dan situs yang terdapat di Jember, seharusnya Jember memiliki museum sebagai media penyimpanan dan perawatan yang memadai.
Didik sendiri mengaku sudah mengajukan permohonan ke pemerintah setempat sejak dirinya baru bekerja di sana.
“Saya sudah sejak tahun 1991 mengajukan ke pemkab, tapi sampai sekarang tidak direalisasi,” akunya.
Di bawah balai pelestari cagar budaya, Didik menyebutkan bahwa lokasi penyimpanan saat ini bukanlah museum, melainkan kawasan kelompok arca pendidikan. Hanya sesekali saja tempat ini disebut sebagai museum, terutama ketika dalam even tertentu. “Kita bahkan pernah ikut lomba dan mendapat juara dua. Ini artinya potensi sejarah di Jember sangat luar biasa,” tegasnya.
Namun, alih-alih mendapat apresiasi atau tempat dan fasilitas yang layak untuk menyimpan koleksi tersebut, dirinya justru dihadapkan pada kondisi sebaliknya. Jangankan tempat yang layak, untuk merawat dan membersihkan peninggalan saja kembang kempis.
“Ini contoh kecil, tahun 2016 saya hanya mendapat satu botol pembersih kaca, satu liter pembersih lantai, sapu, dan alat bersih-bersih semacamnya,” keluhnya. Padahal, lanjut dia, kebutuhan pemeliharaan dan perawatan cagar budaya tak hanya sekadar pembersih biasa. Apalagi untuk merawat situs-situs yang ada di luar ruangan.
Padahal peninggalan spektakuler ini juga banyak dikunjungi oleh berbagai pihak, baik domestik maupun mancanegara.
Bahkan World Wildlife Fund (WWF) dan National Geographic dibuat takjub ketika melihat sendiri koleksi prasejarah di tempat tersebut. “Mereka merasa wah dalam dua hal. Satu, koleksi seperti ini hanya ada di Jember, tidak ada di daerah atau bahkan negara lain. Kedua, terkejut karena seperti ini penghargaan pemerintah daerah terhadap koleksi dari cagar budaya,” tegasnya.
Karena itu, Didik mengaku terkejut ketika mendengar adanya inisiasi museum konstitusi dan diorama. Dirinya menilai, hal tersebut masih kalah penting dibandingkan dengan benda-benda bersejarah yang saat ini sudah ada di Jember.
“Jember masih punya banyak situs purbakala asli yang masih belum dieksplor. Belum lagi tempat penyimpanan peninggalan sejarah kabupaten sendiri yang ngenes seperti ini. Kok malah mau bikin museum konstitusi. Ini kontra-produktif,” pungkasnya.
(jr/lin/hdi/das/JPR)
Sumber: www.radarjember.com
Post a Comment